Nama: Dyah Ayu Wening Puspita Sari
NIM: 21413244049
Kelas: Pendidikan Sosiologi A
Mata Kuliah: Dinamika Desa dan Kota
Asal Mula Kota Yogyakarta
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Febuari 1755 membagi Negara Mataram menjadi dua daerah, dalam perjanjian tersebut mengawali suatu sistem pemerintahan yang teratur dan kemudian berkembang, hingga akhirnya sebagai Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan suatu bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat didirikan pada tahun 1755 oleh Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I dan Kadipaten Pakualaman didirikan pada tahun 1813 oleh Pangeran Notokusumo (saudara Sultan Hamengku Buwono II) yang bergelar Adipati Paku Alam I. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Setelah adanya perjanjian Giyanti tersebut, Pangeran Mangkubumi segera menetapkan daerah kekuasaannya serta pemilihan tempat yang akan dijadikan sebagai ibukota dan pusat pemerintahan. Pemilihan tempat tersebut jatuh pada Hutan yang bernama Beringin. Di daerah tersebut telah ada sebuah desa kecil yang Pachetokan dan di sana pula terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu yang kemudian Namanya diganti menjadi Ayodya. Setelah adanya penetapan tempat yang akan digunakan sebagai pusat pemerintahan, selanjutnya Sultan Hamengku Buwono dengan cepat memberi pentintah kepada rakyat dan prajuritnya untuk membabad hutan sehingga dapat didirikan Kraton.
Pada Era Belanda
Pada era penjajahan Kolonial Belanda, Pemerintah Hindia Belanda mengakui Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sebagai kerajaan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri yang dikenal dengan istilah zilfbesturende landschappen. Pemerintahan di Kasultanan Yogyakarta telah diatur dalam kontrak politik yang dilaksanakan pada tahun 1877, 1921,dan 1940. Perjanjian tersebut disepakati oleh Sultan dan Pemerintah Kolonial Belanda yang diatur dalam Staatsblaad 1941 Nomor 47 dan Staatsblaad 1941 Nomor 577, berdasarkan hal tersebut menandakan bahwa Keraton tidak tunduk begitu saja kepada Belanda.
Pada Era Jepang
Masa penjajahan yang dilakukan oleh jepaang dengan kurun waktu yang cukup singkat namun lebih menyesengsarakan masyarakat, Yogyakarta tetap diakui sebagai daerah istimewa atau Kooti dengan Koo sebagai kepalanya, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Di bawah Kooti, secara struktural ada wilayah-wilayah pemerintahan tertentu dengan para pejabatnya.
Setelah Reformasi
Pada Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab memudahkan pemerintah dalam mengelola perkembangan dari masyarakat yang tinggal di kota Yogyakarta. Pertumbuhan penduduk mulai terbangun dan tertata dengan baik karena otonom yang tepat dalam pelaksanaannya, kota Yogyakarta yang sedari awal menjadi pusat pertumbuhan di Negara Mataram terus berbenah untuk dapat menyediakan kehidupan yang layak bagi lingkungannya. Penyediaan mengenai layanan Kesehatan, Pendidikan, dan kualitas penunjang SDM lainnya hingga sekarang.
Reference:
p. Vfal,2018.Perkembangan Kota Yogyakarta. Diakses melalui http://e-journal.uajy.ac.id/17656/3/MTA026602.pdf